“Love is the foundation from which children flourish. It is not the luxury, but the necessity of healthy development.”
-Fred Rogers-
Cinta dan kasih sayang orangtua merupakan elemen mendasar dalam kehidupan seorang anak. Ibarat fondasi sebuah bangunan, cinta yang diberikan oleh orangtua menjadi pijakan awal bagi perkembangan mental dan emosional anak. Ketika anak merasa dicintai, diterima, dan dihargai, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang aman dan layak untuk dijelajahi. Sebaliknya, kurangnya kasih sayang dapat menjadi akar dari berbagai masalah psikologis, seperti kecemasan, rasa tidak percaya diri, dan bahkan depresi.
Cinta dari orangtua tidak hanya ditunjukkan melalui kata-kata, tetapi juga tindakan kecil sehari-hari, seperti pelukan hangat, perhatian terhadap kebutuhan anak, mengantar anak sekolah, atau kesediaan mendengarkan cerita mereka. Hal-hal sederhana ini membangun ikatan emosional yang kuat, sekaligus memberi anak rasa aman dan perlindungan.
Fondasi cinta ini berfungsi sebagai perisai yang melindungi anak dari tekanan hidup, seperti konflik sosial dengan teman, kegagalan, atau rasa kehilangan. Dengan kasih sayang yang tulus, anak belajar bagaimana menghadapi tantangan dengan sikap yang sehat, percaya diri, dan optimis.
Anak-anak bisa saja mengalami tekanan yang ditimbulkan dari konflik sosial di lingkungan mereka, seperti dengan teman di sekolah, teman di lingkungan rumah, konflik di media sosial atau merasa sedih karena kehilangan seseorang. Ayah dan bunda mari kenali anak-anak kita apakah sedang mengalami gangguan kesehatan mental? Berikut ciri-ciri anak yang sedang menghadapi masalah emosional:
Perubahan perilaku yang signifikan
Anak mudah marah
Perubahan pola tidur dan nafsu makan
Anak menarik diri dari temannya
Melanggar batas
Anak mengisolasi diri
Anak sulit berkonsentrasi
Muncul gejala sakit fisik tanpa sebab
Anak menghindari pergi ke sekolah
Sulit menghadapi situasi yang penuh stress *)
Bunda dan ayah mari kenali anak-anak kita, apabila menemukan salah satu atau beberapa dari 10 tanda diatas itu menunjukkan bahwa anak kita sedang menghadapi masalah. Mari dengarkan mereka dan berikan dukungan emosional serta cinta dan kasih yang tulus pada mereka.
“When children feel seen, valued, and loved, they develop the resilience needed to face the challenges of life.”
- Daniel J. Siegel –
Kreator: Iis Rosilah
Ketika anak-anak merasa dilihat, dihargai, dan dicintai, mereka mengembangkan ketahanan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan hidup. Kita tidak bisa selalu melindungi anak-anak dari konflik sosial yang dia hadapi, cara ia menghadapi konflik sosial justru akan mejadi pembelajaran bagi anak-anak dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah yang ia hadapi tersebut. Tugas kita sebagai orangtua adalah menguatkan mental dan memberikan dasar kecerdasan emosional agar anak-anak siap menghadapi setiap masalah yang ada secara sehat dan solutif.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi dengan cara yang sehat. Anak-anak yang memiliki kecerdasan emosional tinggi lebih mampu menghadapi tekanan, membangun hubungan yang positif, dan merasa puas dalam hidup. Apa yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk mendukung perkembangan kecerdasan emosional anak?.
Seorang psikolog dan peneliti terkenal yang Bernama John Gottman, menyajikan pendekatan berbasis penelitian untuk membantu orangtua membangun hubungan yang sehat dengan anak mereka. Dalam bukunya yang berjudul “Raising an Emotionally Intelligent Child”, Gottman memperkenalkan konsep orangtua sebagai Emotion Coach, yakni pembimbing emosional untuk anak. Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh orangtua adalah sebagai berikut:
1: Menyadari Emosi Anak
Orangtua harus peka terhadap tanda-tanda emosi anak, baik yang jelas maupun tersirat.
Perhatikan perubahan perilaku anak sebagai indikasi adanya emosi tertentu.
2: Menggunakan Emosi Sebagai Kesempatan untuk Mendekat
Pandang emosi anak sebagai peluang untuk membangun koneksi dan mengajarkan keterampilan emosional.
Hindari mengabaikan atau meremehkan perasaan anak, terutama saat mereka sedang marah, sedih, atau takut.
3: Mendengarkan dengan Empati dan Memvalidasi Emosi Anak
Dengarkan cerita anak tanpa menghakimi atau langsung memberikan solusi.
Validasi perasaan mereka dengan mengatakan, “Aku mengerti kamu merasa sedih/marah/frustrasi.”
4: Membantu Anak Menamai Emosi
Ajarkan anak untuk mengenali dan memberi nama pada emosi mereka, seperti marah, takut, atau kecewa.
Dengan mengenali emosi, anak lebih mudah mengendalikannya.
5: Menetapkan Batas dan Membantu Menyelesaikan Masalah
Tetapkan batasan perilaku yang dapat diterima, sambil tetap menghormati perasaan anak.
Contoh: “Aku tahu kamu marah, tapi memukul bukan cara yang baik untuk mengatasi perasaanmu.”
Ajak anak mencari solusi bersama untuk mengatasi masalah mereka.
Dalam bukunya Gotman juga menjelaskan tentang panduan praktis yang bisa dilakukan oleh orangtua saat anak-anak menghadapi masalah emosional:
Saat anak mengalami amarah: Tetap tenang, bantu anak mengenali emosinya, dan arahkan untuk mengekspresikan kemarahan dengan cara yang sehat.
Saat anak merasa sedih: Berikan dukungan emosional, pelukan, dan ruang untuk berbicara.
Saat anak menghadapi konflik dengan teman: Ajarkan keterampilan komunikasi, seperti berbicara dengan sopan dan mendengarkan orang lain.
Menjadi pembimbing emosional membantu mereka memahami dan mengelola emosi dengan bijak. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, orangtua dapat membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional yang akan mendukung kesehatan mental sepanjang hidup mereka.
“Your children need your presence more than your presents.”
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Cinta Orangtua, Fondasi Kesehatan Mental Anak”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/iisrosilah8242/67664024c925c4050515eb92/cinta-orangtua-fondasi-kesehatan-mental-anak?page=2&page_images=1
Kreator: Iis Rosilah
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.